Cerpen Motivasi

on Senin, 07 September 2009

Aku Benci Mama
by : Yutachi

Pagi hari buta sudah terdengar teriakan mama membangunkanku. "lisaaa. banguuun. mau solat subuh jam berapa?" teriak mama dari luar. bukannya bangun, aku malah menutup kepalaku dengan bantal. mama tidak pernah merasa lelah untuk terus membangunkan ku solat. mama akhirnya membuka pitu kamar ku dan BYUURR! air dingin sudah membanjiri mukaku. "banguuuun! harus berapa kali sih mama bangunin kamu?! susaaah banget di bangunin. anak gadis susah banget di bangunin. solat subuh dulu sana." aku berjalan ke kamar mandi sambil mengelap mukaku yang basah terkena air dingin. selesai wudhu, aku sola subuh dikamar. lalu kembali tidur. sepertinya belum lama aku tertidur, aku sudah dibangunkan lagi oleh mama. tiba-tiba pintu kamar di buka dengar keras, aku kaget dan langsung membuka mata. kepala ku pusing. "ckck! bagus ya, mama beres-beres sendirian, tuan putri malah asikasikkan tidur."ku tarik langkah ku yang berat ke kamar mandi untuk gosok gigi dan cuci muka setelah itu aku duduk di depan tv untuk menyegarkan pikiran ku. tapi kakak-kakak dan papa ku mengira aku sedang nonton tv. "lis, kok kamu nggak bantuin mama sih?kasian tuh mama cape" aku menjawab "iya, aku nanti emang mau bantuin kok." setelah diceramahin seperti itu , aku membantu mama beres-beres rumah.pagi berganti siang, siang berganti malam. aku disuruh beli makanan di luar karena mama sedang tidak masak. sesampainya dari beli makanan, aku pulang dengan disembur dengan omelan mama, lagi. "lis, kamu masak air?" aku menjawab "nggak, ma. kenapa?" mama bicara lagi " itu masak air nggak dimatiin, sampai air nya habis. emang dikira gas murah apa.?! masih untung nggak kenapakenapa..."mama masih ngomel sama aku tanpa dia tahu bukan aku yang masak air. akhirnya aku nggak tahan dan teriak. "BUKAN AKU MA YANG MASAK AIR!" bersamaan dengan itu, papa dan kakak-kakakku datang dan bertanya ada apa. cerita lah mama , semuanya jadi marah sama aku. aku kesal, marah, benci. aku berusaha jelasin semuanya tapi sama sekali tidak merubah keadaan. akhirnya aku berkata "mending aku mati aja deh kalo tiap hari dimarahin terus, disalahin terus! AKU BENCI MAMA!" aku kelUar rumah dengan membanting pintu. aku nggak tau mau kemana. aku bingung. aku jalan entah kemana. begitu sadar, malam sudah semakin dingin. aku lapar karena dari sore belum makan dan minum apa-apa. aku duduk di trotoar dan merenungi apa yang baru aku lakukan. aku menangis menyesal. sungguh menyesal. aku tidak pernah mau menjadi anak yang durhaka. tapi apa yang sekarang bisa aku perbuat?aku takut untuk pulang kerumah. aku berjalan lagi tanpa tujuan dan tiba-tiba...aku mendengar suara mama yang menangis meraung-raung seperti itu. sungguh suara tangis yang menyakitkan. aku bahkan tak tahan mendengarnya. dan belum pernah aku mendengar mama menangis seperti itu. akhirnya aku membuka mata, disampingku mama sudah banjir air mata sedangkan kakak-kakak dan papa ku mengelilingiku. aku tersedar kalau aku sedang di rumah sakit dan rasanya badan ku sudah tak bertulang lagi, sakit melanda seluruh tubuhku.aku langsung minta maaf dengan mama. mama bukannya bicara malah hanya menagis dan menangis.


Save Our Earth
by: Egina

Bumi memejamkan matanya, mencoba beristirahat dari kerja rodinya yang tidak pernah dihargai. Tapak kaki kecil yang diiringi derap langkah riang berlari kearahnya dan memeluknya, yang sejenak membangunkannya dari mati suri. Ia berkata “bumi jangan tidur, aku sayang bumi!”. Mendengar itu bumi meneteskan air mata, yang membasahi semua dengan kepiluan hatinya. Anak itu mengusapnya dan berkata “bumi jangan nangis, kasihan ayah dan ibu ku, saudara-saudara ku dan semua orang, mereka pasti akan menangis juga, karena air mata bumi mengganggu aktivitas mereka!”. Mendengar itu bumi tak mau egois, dia mencoba menahannya dan merubah semua itu menjadi tawa yang menggelegar, untuk melampiaskan kepiluan hatinya. Tapi… cepat-cepat tangan anak itu menutup mulutnya, dan mendendangkan suaranya, “berhenti bumi, kau mengusik semua dengan tawa mu yang keras, kau menghancurkan semua yang ada, kasihan mereka!”. Bumi mulai muak, dalam hati ia berkata “dasar, masih kecil saja kau telah tahu rasa egois, tak mementingkan aku, sama halnya kau dengan mereka!”. Bumi merasa serba salah, ia marah dan membuat wajahnya memerah, ia goncangkan tubuhnya kuat-kuat, agar terasa amarahnya. Anak itu menangis melihat ulah bumi, ia mencoba dengan tangan kecilnya untuk menenangkan bumi, sambil merengek “bumi jangan marah, aku takut… bumi…tenang…bumi…tenang, aku sayang bumi!”. Bumi terdiam, menghela nafas yang panjang, tapi anak itu berbisik, “ssst…hati-hati dengan nafas mu bumi”. Bumi menatap wajah anak itu, ia mencoba mengusap sisa air matanya, bumi pun berkata, “aku kesal, muak dan cukup lelah. Apa yang pernah bangsa kalian lakukan untuk kebahagiaan dan ketenangan ku? Kalian mengeksploitasi ku dengan mencukur habis rambut ku, sehingga aku tampak konyol diusia ku yang renta ini. Kalian membuat aku berat dengan tindihan besi-besi yang menjulang tinggi di tubuh ku, yang harus ku pikul berpuluh-puluh tahun, pada hal aku sudah tua!! Kalian membuat aku terjaga dari istirahat ku dengan suara-suara bising yang kalian buat dari setumpuk besi-besi berengsek yang menghamburkan asap dan membuat paru-paru ku rusak! Aku muak, setiap kali aku menangis karena besi yang kalian paksa taruh di badan ku, kalian pasti merengek dan menyalahi ku. Setiap aku bersin dan batuk akibat dari besi-besi rongsokan mu itu, kalian pasti meraung-raung sambil menyesali ku. Hai bodoh… aku juga punya perasaan!!!” Anak itu mendekati bumi, memegang jantung hatinya, “bumi… aku berjanji aku pasti akan membela mu, tidak akan menggunduli rambut mu, menaruh beban yang berlebihan, dan membuat mu terjaga dari istirahat mu. Tapi tidak sekarang bumi, tangan ku masih terlalu kecil, dan perkataan ku di usia yang masih sangat muda ini tak akan di dengarkan. Bersabarlah bumi…bersabarlah aku sayang bumi!” bumi menanggapi perkataan anak itu dengan nada yang sedih dan putus asa, ia berkata “sampai kapan… sampai kau benar-benar telah mengenal uang??? Sampai aku tak kuat lagi menahan semua ini?!” anak tersebut memancarkan kesedihan di matanya seolah ia menyesali telah menjadi bangsanya, ia mencoba menarik kepercayaan bumi dengan berbisik “aku mengerti pasti kau sulit percaya kepada ku… tapi percayalah bumi, setidaknya kau memiliki harapan. Bumi… aku sayang bumi!!” anak itu berlari menjauh dari bumi dan bumi…. MENUNGGU






0 komentar:

Posting Komentar