Cerpen Remaja

on Senin, 07 September 2009

Pacar Bohongan
by: Mery

Pagi yang cerah. Menyenangkan berangkat ke sekolah dengan cuaca yang membangkitkan semangat seperti ini. Vrila sudah siap sejak sepuluh menit yang lalu. Dia tampak kesal. Tangannya disilangkan di depan dadanya, mondar-mandir dan sesekali melirik jam tangannya. Dia sedang menunggu temannya yang katanya akan tiba sepuluh menit yang lalu. Tapi sampai detik ini temannya itu belum tampak batang hidungnya. Vrila mulai tidak sabar menunggunya. Afi sudah janji akan menjemputnya, tapi sepertinya dia akan terlambat lagi. Padahal Vrila tadi sudah mengatakan pada anak itu dia lebih suka naik bus daripada harus menunggu yang nantinya malah akan membuatnya terlambat ke sekolah.Anak itu memang tidak bisa diandalkan, batin Vrila kesal. Setiap kali dia membuat janji pasti akan terlambat hingga membuat orang kesal. Tadi waktu di telpon dia mengatakan kalau ada hal penting yang harus dia bicarakan denganku. Apa tidak bisa menunggu sampai di sekolah. Katanya ini sangat penting dan tidak bisa dibicarakan di sekolah. Tapi kenapa sampai sekarang dia belum muncul juga. Lama-lama anak itu bisa membuatku meledak.Dan baru lima menit kemudian, tampak dari jauh sosok Afi dengan mengendarai sepeda motornya melaju dan pelan-pelan berhenti di depan Vrila.“Kau benar-benar mengesalkan!” Sambut Vrila begitu Afi datang tanpa menunggu dia turun dari motornya.“Aku minta maaf,” kata Afi, tampak bersalah menyodorkan helm ke arah Vrila. “Tadi ibuku minta antarkan dulu ke pasar.”“Alasan yang klasik,” kata Vrila sinis, naik ke boncengan motor Afi. “Memang kakakmu tidak ada.”“Dia sudah berangkat kuliah pagi-pagi sekali,” kata Afi sambil melajukan motornya lagi. “Katanya ada tugas yang harus dia selesaikan hari ini.”“Lalu apa yang ingin kau bicarakan, sampai kau membuatku menunggu lama seperti itu,” kata Vrila setengah berteriak sambil mencondongkan kepalanya ke depan. “Ini harus sangat penting agar lima belas menit waktu untuk menunggumu tidak sia-sia.”Kemudian Afi pun menceritakannya. Ternyata tentang cowoknya. Dia bertengkar lagi dengan cowoknya itu. Cowoknya adalah salah satu teman kuliah kakaknya. Perkenalan mereka dimulai ketika kakaknya membawanya ke rumah. Awalnya hubungan mereka baik-baik saja, seperti pasangan pada mulanya menjalin hubungan. Tapi ketika sudah beberapa bulan mereka jalani, katanya banyak ketidakcocokan pada diri masing-masing. Dan sekarang sudah ke tiga puluh kalinya Afi mengeluhkan pertengkarannya dengan cowoknya itu, tapi Vrila yakin keesokan harinya mereka pasti sudah akan berbaikan kembali. Inikah hal sangat penting yang tidak bisa dibicarakan di sekolah yang membuatku menunggu begitu lama, hanya untuk mendengar keluhan Afi yang tidak ada gunanya ini. Benar-benar membuatku ingin muntah. Dan dia terus bercerita hingga sampai di parkiran sekolah, dan baru berhenti ketika masuk ruang kelas.“Aku tidak tahu harus bagaimana lagi, Vrila,” kata Afi, duduk di bangkunya. “Apa aku putuskan saja dia?”Vrila menghela napas sebelum menjawab pertanyaan Afi. Tapi ketika itu, Risa dan Windy memasuki ruangan dan mereka langsung duduk di bangku mereka, di depan Vrila dan Afi.“Hey, coba lihat!” seru Risa, memutar tubuhnya menghadap ke posisi Vrila dan Afi. Kemudian dia menunjukkan sebuah arloji cantik yang melingkar di tangan Windy. “Pacarnya baru memberikannya kemarin. Katanya dia baru dapat gaji bonus dan dibelikannya kado untuknya. Cantik kan jam tangannya.”Windy memperlihatkannya pada Vrila dan Afi. Keduanya tampak terpukau melihatnya. Jam tangan Windy memang cantik. Tidak hanya bermerk berkualitas tinggi, tapi jam tangan itu juga dilapisi permata. Cowok Windy memang mempunyai selera tinggi. Dia sering membelikan Windy barang-barang yang bermerk. Tidak heran Windy selalu jatuh cinta padanya. Sepertinya semua gajinya dibuat untuk membelikannya barang-barang itu. Cowok Windy sudah bekerja dan mapan. Katanya, setelah lulus dari SMU dia tidak akan melanjutkan ke perguruan tinggi, karena cowoknya sudah siap melamarnya.“Jam ini—” kata-kata Risa terpotong dengan bunyi beep. Dia mengeluarkan ponsel mungilnya dari saku seragamnya. Kemudian dia memeriksa pesan yang masuk.“Pasti dari cowoknya,” terka Afi. “Heran aku melihat cowoknya Risa, pagi-pagi begini sudah ber-sms ria.”“Hu-uh,” timpal Windy. “Tadi saja sudah yang keseratus kali cowoknya mengirim pesan. Sekarang belum bosan juga. Benar-benar, deh.”Sepertinya Risa tidak menghiraukan komentar teman-temannya mengenai dirinya. Dia sibuk mengirim pesan balasan pada si pengirim. Memang benar kata kedua anak itu. Cowok Risa memang keranjingan. Dalam sehari saja dia bisa terima seribu pesan dari cowoknya itu. Sampai-sampai pernah ponselnya dirampas kepala sekolah gara-gara di kelas tidak memperhatikan pelajaran tapi sibuk mengirim pesan ke cowoknya. Tapi itu tidak membuatnya jadi jera. Sampai sekarang Risa masih melakukannya meski dengan cara sembunyi-sembunyi.“Pagi, semua,” sapa Biby, memasuki kelas ditemani Gading, yang baru dua minggu yang lalu jadi pacarnya. Kedua anak ini selalu lengket. Ke mana-mana selalu bersama. Membuat semua orang jadi risih melihatnya. “Wah, ada berita apa nih, pagi-pagi sudah kumpul.”“Biasa masalah cewek,” jawab Afi, singkat.Biby dan Gading kemudian duduk di bangku yang sama, bersebelahan dengan bangku Vrila dan Afi. “Kalau begitu, aku tidak boleh nimbrung, dong,” sahut Gading.“Lebih baik kalian di situ saja,” ujar Windy. “Kalau nanti kalian ikut bergabung, semua jadi kacau.”“Enak saja,” hanya itu ucapan yang dilontarkan Biby untuk memprotes, karena setelah itu dia sudah tidak peduli lagi dengan yang lainnya selain cowok di depannya itu.“Dasar Biby,” kata Afi, menggelengkan kepala. Kemudian dia beralih ke Windy, kembali membicarakan tentang jam tangan pemberian cowoknya itu. Dan pembicaraan mereka berkembang ke masalah mereka dengan cowoknya masing-masing. Vrila hanya bisa diam dan mendengarkan ketika mereka sudah mulai bicara tentang cowok. Hal itu sudah di luar batas kemampuannya, karena dia tidak tahu harus bagaimana. Dari keempat temannya, hanya Vrila yang tidak mempunyai cowok. Setiap kali teman-temannya sudah berbicara menyangkut hal itu, dia merasa tersisih dan tenggelam. Dia seperti orang bodoh ketika mendengarkan cerita mereka yang terdengar menyenangkan. Dan dia hanya bisa menelan ludah mendengarnya. Dia ingin seperti mereka. Mengalami hal-hal yang belum pernah dia alami. Tapi sepertinya itu hanya sebuah mimpi bagi Vrila. Mimpi yang sangat menjemukan.****Aku sudah tampak cantik, batin Vrila menatap dirinya di dalam cermin, mengagumi dirinya sendiri bahwa sebenarnya dia nyaris tampil sempurna. Tapi dia selalu terusik dengan bentuk hidungnya yang tidak masuk dalam standar kecantikan. Hidungnya hampir tenggelam dan tidak membuatnya tampak lebih baik. Vrila menghembuskan napasnya. Kemudian mengambil kado yang sudah dipersiapkannya untuk Afi. Hari ini dia ulang tahun. Dia mengundang semua temannya untuk hadir dalam pesta ulang tahunnya. Dan dalam undangannya disisipkan sebuah pesan bertuliskan tinta merah kalau semua undangan harus membawa pasangannya masing-masing. Hal itu membuat Vrila terasa berat untuk menghadiri pesta tersebut. Berarti dia harus berbohong lagi. Kalau nanti teman-temannya menanyakan tentang pacarnya, dia akan menjawab, pacarnya sedang sibuk saat ini. Seperti yang selama ini dia lakukan ketika pertanyaan itu dilontarkan oleh teman-temannya yang tidak bisa dihindarinya.Vrila tahu dia sudah melangkah terlalu jauh. Kebohongan ini cepat atau lambat harus diakhiri. Tapi Vrila masih merasa belum sanggup. Dia masih membutuhkannya, meski nantinya hal itu akan menyebabkan rusaknya hubungan persahabatannya dengan teman-temannya.“Selamat ulang tahun!” seru Vrila begitu Afi membuka pintu untuknya. “Terima kasih—masuklah,” Afi mempersilahkannya masuk, sembari menerima kado dari Vrila. Dia tampak cantik dengan balutan gaunnya yang berwarna purple. “Mana pacarmu? Aku kan sudah menyuruh kalian untuk membawa cowoknya masing-masing.”“Aku juga sebal dengan Martin,” kata Vrila pura-pura kesal, memasuki ruangan. “Setiap kali aku butuhkan dia tidak pernah ada untukku.”“Kenapa tidak kau putuskan saja dia,” kata Afi menyarankan. “Aku rasa kau tidak memilih cowok yang tepat.”“Yah, nanti akan kupikirkan saranmu itu,” kata Vrila tersenyum kering.“Baiklah kalau begitu, aku ke sana dulu, ya. Kau nikmati saja makanannya dulu.”Afi meninggalkan Vrila untuk menaruh kadonya. Pestanya lumayan meriah. Semua anak membawa pasangannya seperti yang diperintahkan Afi. Vrila tidak bisa membohongi dirinya kalau dia merasa iri melihat meraka bercengkrama dan berdansa, seolah tidak ada hal lain selain mereka berdua di dunia ini.Aku juga ingin punya pacar. Pacar sesungguhnya, bukan cuma karanganku saja. Apa aku tidak boleh mempunyai pacar hingga semua bangsa laki-laki yang kudekati sudah tidak sendiri lagi. Vrila pernah mendekati salah satu teman sekolahnya. Dia berusaha agar anak itu tertarik padanya dengan mengirimkan surar padanya. Tapi surat itu tidak pernah mendapatkan balasan, dan belakangan dia mendapati kalau anak itu sudah mempunyai pacar. Sejak saat itu dia tidak berani lagi mendekati seorang cowok. Takut dengan resiko yang akan dia hadapi nantinya. Dan sekarang dia dihadapkan pada kenyataan di depannya bahwa kesempatan itu sudah terlambat baginya. Dengan hanya melihat banyaknya pasangan di sekitarnya. Vrila merasa dia adalah orang paling menyedihkan di dunia ini.“Apa kau akan memakan kue itu atau kau ingin dibungkus untuk dibawa pulang,”“Apa!” Vrila terkejut mendengarnya, dan mendapati kakak Afi, Choky sudah ada di sebelahnya.“Itu, yang kau pegang,” Choky menunjuk ke tangan Vrila.“Oh, maaf,” Vrila buru-buru menaruh kue yang dipegangnya ke tempatnya semula.“Kenapa dikembalikan?” Choky tampak bingung.“Aku baru saja ingat, aku harus segera pulang,” Vrila buru-buru melangkah pergi dari tempatnya berdiri.“Tapi acaranya kan belum juga dimulai,” kata Choky.Tapi Vrila tidak menghiraukan kata-kata Choky. Dia sudah tidak tahan berada satu detik saja di tempat itu. Melihat semua anak bersenang-senang sementara dia hanya bisa menyaksikannya dengan wajah bodoh yang berharap dikasihani karena hanya dia saja yang tidak memiliki pasangan. Itu sangat memalukan. Vrila merasa dunia ini sungguh kejam padanya.****Kenapa mereka selalu membicarakan cowok, seperti tidak ada hal lain selain itu saja. Apa mereka tidak bisa membicarakan tentang pelajaran, buku-buku yang bagus, musik, atau bahkan film yang baru dirilis. Apa mereka bodoh atau memang di kepala mereka hanya ada beberapa suku kata itu yang tersangkut di jaringan otak mereka. Benar-benar menyebalkan.Sekali lagi Vrila merasa kesal dengan teman-temannya. Dia merasa otaknya kram begitu mereka sudah membicarakan tentang cowok mereka. Di mana pun, kapan pun, mereka tidak pernah sehari pun absen untuk membicarakannya. Sekarang mereka berlima berada di kantin, dan membicarakan cowoknya lagi setelah beberapa jam yang lalu mereka sudah membicarakannya hampir setengah jam pelajaran ketika pelajaran kosong. Vrila benar-benar tidak tahan.“Bagaimana denganmu?” tanya Windy, pada Vrila. Vrila tersentak dari lamunannya. “Apa?!”“Kemarin,” timpal Risa. “Kenapa kamu pulang cepat?”“Ya,” Biby ikut menambahi. “Kata Afi Martin tidak ikut.”Afi mengangguk di sebelahnya, mengiyakan.“D—dia sibuk,” awalnya Vrila akan gugup menjawabnya. Tapi setelah dia menguasai keadaan, dia akan ikuti skenario karangannya layaknya air mengalir dengan alami. “Yah, kalian tahulah. Dia ‘kan kuliah sambil kerja, jadi aku tidak bisa setiap saat mengajaknya keluar. Kebetulan waktu itu dia sedang lembur, jadi…”Hal itu sudah menjadi kebohongan yang alami baginya. ****“Terima kasih,” Vrila mengambil kantung belanjaannya, setelah membayar tagihannya di kasir. Belum sampai dia melangkah keluar dari wilayah swalayan di mall itu, tiba-tiba ponselnya berbunyi.“Hallo,” Vrila mengangkatnya, sambil berjalan keluar. “Vrila, kau sekarang ada di mana?” tanya suara di seberang, langsung. Vrila mengenal suaranya.“Afi, ada apa?” tanyanya, berhenti di pinggir balkon lantai tiga.“Apa kau sibuk sekarang,” Afi terdengar tidak sabar. “Aku benar-benar butuh bantuanmu. Apa kau bisa menemaniku ke rumah bibiku? Anaknya kemarin meminjam kalkulator cos-tangenku dan sekarang belum dikembalikan. Aku butuh sekali sekarang untuk tugas matematika yang dikumpulkan besok. Apa punyamu sudah selesai?”“Sudah, kukerjakan kemarin.” Kata Vrila, karena dia tidak mempunyai kesibukan yang biasa dilakukan anak remaja pada hari Sabtu, jadi dia bisa cepat menyelesaikannya. Menyedihkan. “Apa kakakmu tidak bisa mengantarmu?”“Sejak dia bangun, dia sudah pergi,” kata Afi, terdengar kesal. “Tolonglah aku Vrila, yang lain tidak ada yang bisa, mereka sibuk berkencan. Kau tahu sendiri ‘kan hubunganku dengan Agus akhir-akhir ini tidak baik, aku tidak bisa minta bantuan padanya.”Ini hari Minggu. Kalau aku ingin kebohonganku tidak terkesan mencurigakan, aku rasa aku harus berbohong lagi.“Kurasa aku juga tidak bisa,” kata Vrila. “Hari ini aku juga sedang bersama Martin. Kau tahu ‘kan, dia sibuk sekali. Jarang-jarang dia ada waktu luang. Jadi, aku minta maaf, ya…”“Ya… sudah kalau begitu,” kata Afi, terdengar kecewa. “Maaf mengganggumu. Selamat bersenang-senang, ya.”“Terima kasih,” kata Vrila merasa bersalah. Kemudian dia menghela napas sebelum menutup ponselnya. Satu lagi kebohongannya yang tidak bisa dia kontrol.“Telepon dari siapa?” tiba-tiba Choky muncul di hadapan Vrila, dan membuatnya kaget hingga dia merasa jantungnya terjun ke lantai dasar.“Sepertinya itu membuatmu sangat tertekan,” lanjut Choky.“Bukan dari siapa-siapa,” jawab Vrila singkat, menghindari pertanyaan itu.“Apa itu dari pacarmu?” kata Choky. “Pacar yang sesungguhnya tidak pernah ada, kan?”Vrila serasa telah menerima tamparan yang sangat keras begitu mendengar kata Choky.“Apa maksudmu?” Vrila berusaha menyangkal.“Aku tadi tidak sengaja melihatmu,” ujar Choky, menjelaskan. “Waktu aku mau menyapamu, kau sudah berbicara di telepon. Dan… sedikit banyak aku mendengar percakapanmu.”Vrila tidak tahu harus berkata apa. Dia tidak punya kata-kata lagi untuk membela dirinya. Kebohongannya sudah berakhir. Dia tahu itu. Kemunafikan dan kepura-puraannya, telah terbongkar. Kegelisahannya yang selama ini menjadi momok baginya kini menjelma menjadi kenyataan.“Kau tahu, aku juga pernah mengalami hal serupa seperti yang kau alami,” kata Choky. “Dulu aku pernah diejek teman-temanku karena tidak punya pacar. Di antara mereka hanya aku yang tidak punya pacar. Aku merasa diriku ini sangat bodoh, jelek, dan kurang pergaulan karena aku tidak bisa mendapatkan cewek satu pun. Aku sempat berpikir untuk berbohong seperti yang kau lakukan saat ini. Tapi kemudian aku sadar, hal itu justru akan menyakiti orang lain dan diriku sendiri. Aku tidak mau egois. Hanya karena aku tidak sama seperti orang lain, bukan berarti kita tidak istimewa. Kau tidak perlu merasa rendah diri Vrila. Aku yakin, di luar sana pasti akan ada seseorang yang akan membuat dirimu merasa sangat istimewa.”Choky tersenyum hangat menatap Vrila. Tatapan itu membuat Vrila merasa tenang. Dia seolah telah mengembalikan jati dirinya yang selama ini tersesat. Vrila balas tersenyum padanya, juga pada dunia yang telah membukakan kesempatan kedua baginya. ****Vrila tidak bisa duduk dengan tenang. Sedari tadi kakinya berpindah-pindah posisi yang dirasa nyaman untuknya duduk. Ini berkaitan dengan apa yang ada di pikirannya. Hari ini Vrila rencananya akan mengaku pada teman-temannya. Setelah bertemu Choky tempo hari, dia terus memikirkan kata-katanya. Dia benar mengenai kebohongannya yang akan menyakiti orang lain. Meski Vrila merasa ini semua sudah terlambat, tapi dia tidak mau melangkah lebih jauh lagi untuk melanjutkan kebohongannya yang nantinya justru akan lebih menyakiti semua orang.“Teman-teman, boleh aku bicara sebentar,” kata Vrila, memulai. Dia merasa gugup. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi nanti.Semua mendongak menghentikan aktivitas mereka. Kelima anak itu sedang mengerjakan tugas kelompok di rumah Afi. Mereka semua duduk di lantai dengan meja tamu sebagai tempat bantuan untuk bekerja.“Aku ingin mengakui sesuatu,” kata Vrila, takut-takut.Keempat anak di depannya masih terdiam, menunggu Vrila melanjutkan kata-katanya.“Aku tahu ini salah,” lanjut Vrila. “Aku tahu ini seharusnya tidak kulakukan. Tapi aku harus mengakhirinya seperti ketika aku memulainya. Sebenarnya… selama ini aku telah berbohong kalau aku sudah punya pacar—”“Apa?!”“Jadi selama ini kau—”“Itu tidak mungkin,”“Aku minta maaf—aku benar-benar minta maaf,” Vrila menunduk, tidak bisa menahan air matanya. “Aku tahu kalian pasti merasa dihianati. Tapi aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Aku sedih dan juga iri ketika melihat kalian selalu membicarakan pacar kalian. Sepertinya dunia kalian sangat menyenangkan dengan hadirnya seorang pacar. Sementara aku, aku hanya seorang gadis kesepian yang tidak punya pacar. Aku tidak mau dikatakan kuper atau terbelakang dari anak lain. Jadi aku putuskan untuk menciptakan Martin agar terdengar nyata bagi kalian. Tapi yang sebenarnya, dia hanya karanganku untuk mendukung statusku.”Suasana mendadak berubah sepi. Lebih sepi dari malam yang dingin. Lebih mencekam dari kuburan di malam hari. Semuanya membeku. Bahkan pena itu berhenti melakukan pekerjaannya. Dan buku-buku itu sengaja terbuka untuk menyaksikan pengakuan Vrila. Kedua benda itu seolah ingin bekerja sama, mengabadikan peristiwa ini dalam kertas kosong itu untuk dijadikan sejarah. Vrila tahu dengan resiko yang dia hadapi sekarang. Mereka sudah pasti berpikir akan mengakhiri persahabatan mereka dengannya setelah ini. Kalau memang itu yang harus dilakukan, Vrila bisa mengerti. Mereka pasti tidak ingin memiliki sahabat yang penuh dengan kemunafikan dan bisa menghianati sahabatnya sendiri. Setelah kerja kelompok ini selesai, Vrila berjanji tidak akan mengganggu mereka lagi.“Aku juga minta maaf, Vrila,” kata Afi tiba-tiba, memecahkan keheningan “Selama ini aku juga egois, tidak pernah memikirkan perasaanmu. Aku selalu berbicara mengenai kekesalanku dengan Agus, tanpa mempertimbangkan apa kau suka atau tidak. Padahal kau mencoba untuk menolongku.”Vrila merasa bongkahan es itu perlahan mencair.“Aku juga minta maaf, Vrila,” Windy juga ikut menimpali. “Aku selama ini terlalu membanggakan cowokku. Padahal dia tidak seistimewa itu. Dia hanya memamerkan benda-benda yang terkadang membuatku seperti barang dagangan saja.”Kemudian diikuti Biby dan Risa juga meminta maaf pada Vrila. “Kami juga minta maaf, Vrila. Kami telah salah padamu.”“Sudahlah, kalian,” Vrila tidak bisa menahan haru. “Kalian membuatku ingin menagis saja.”Semua tertawa mendengarnya. Kemudian mereka saling berpelukan. Menyatukan tangan, raga, juga jiwa mereka bersama. Pelukan itu bagaikan simbol pengikat kelima anak itu dalam sebuah persahabatan abadi, dan bahwa hal itu tidak bisa dipisahkan oleh apaapun di dunia ini.



Let Her Go!
by: Tarie
“Aku ada di sini, Tara,” bisiknya lembut menenangkan aku yang tengah gemetar hebat. Dia terus memelukku dengan erat tanpa melepaskanku sedikitpun. Ia yang tahu bagaimana perasaan dan keadaanku saat ini. Para dokter dan perawat rumah sakit ini pun tak tahu apa yang harus mereka lakukan padaku. Memang hanya dia seorang yang memahami diriku luar dan dalam. Mungkin sudah lewat dua jam Arie memelukku seperti ini. Tapi tak sedikitpun dia mengeluh atau melonggarkan dekapannya. Tubuhku masih gemetar keras. Aku baru kehilangan. Kehilangan sesuatu yang menjadi inti hidupku selama ini. Setelah hari ini, aku tak akan bisa lagi melihatnya, berbicara dengannya, berbagi banyak hal dengannya, tak akan ada lagi pelukkan hangat seorang saudara untukku saat ku sedih. Aku berusaha untuk tenang agar gemetaran tubuhku berhenti, namun sulit sekali melakukannya. Setelah sedikit tenang, aku mulai bisa berbicara. “Lara udah pergi, Rie,” jeda sejenak, aku menarik napas panjang. “Aku nggak akan bisa ketemu Lara lagi. Selamanya! Dan itu salahku!” aku mulai histeris lagi, dan Arie mempererat pelukkannya padaku. Aku duduk di lantai rumah sakit memunggunginya sehingga dia memelukku dari belakang sejak tadi. Arie membenamkan dagunya di rambutku. “Ssh, kamu nggak salah, Tara, semua yang terjadi adalah kehendak Dia. Kita hanya manusia, dan kita nggak punya kuasa untuk menghentikannya. Ssh, please, tenang ya,” katanya penuh pengertian. Kami berdua baru jadian selama 9 bulan, dan kami ini adalah hasil comblangan Lara saudara kembarku. Dia memang senang sekali menjodoh-jodohkan orang sedari kecil, dan comblangannya selalu sukses. Yah, seperti kami ini. Perasaanku semakin kacau saat aku melihat tubuh tak bernyawa Lara dibawa keluar dari ruang operasi. Seluruh tubuhnya tertutup kain putih. Tiga puluh menit yang lalu, dokter keluar dan mengabarkan pada kami kalau Lara sudah tak mungkin lagi diselamatkan, dan hatiku luluh lantak saat mendengarnya. Kalau tak ada Arie di sampingku, aku pasti sudah jatuh menghantam lantai yang keras dan dingin. Rasanya aku ingin berlari menghampiri Lara dan membangunkannya, tetapi aku tahu itu adalah hal bodoh. Lara, belahan jiwaku dan bagian dari hidupku, tak akan pernah bangun lagi dan tersenyum untukku. “Tara, kita rawat luka-lukamu ya?” ajak Arie sambil dengan perlahan membantuku berdiri. Kakiku masih gemetar sehingga aku harus bersandar sepenuhnya pada Arie. Karena kecelakaan tadi, tubuhku memang terluka, tapi luka-lukaku hanya luka gores. Meski banyak darahnya, aku tahu aku tak mungkin mati hanya karena luka-luka ini. Saat dua orang perawat membersihkan dan merawat luka-lukaku, sedangkan Arie pergi untuk mengurus masalah rumah sakit dan menenangkan orang tuaku yang shock stengah mati mendengar kami berdua kecelakaan dan bahwa Lara meninggal, pikiranku melayang ke kejadian siang tadi. Kami berdua, aku dan Lara, berencana pergi ke Surabaya Town Square untuk nonton film dan kami sepakat kalau aku yang menyetir. Awalnya semuanya baik-baik saja. Kami masih tertawa dan bernyanyi mengikuti suara Lady Gaga yang menyanyikan Big Girl, sampai ada dua taksi yang sepertinya sedang adu balap dan menyetir dengan serampangan. Mobil kami berada di jalur yang benar, dan aku menyetir dengan kecepatan normal, tapi kemudian, salah satu taksi itu kehilangan control dan kudengar suara ban berdecit mengerikan beradu dengan aspal, lalu taksi itu menghantam sisi sebelah kiri mobil, tempat Lara duduk, dan mobil kami menabrak pembatas jalan raya. Kaca depan pecah berantakan, mengenaiku tapi aku seakan mati rasa. Tak ada suara yang keluar dari tenggorokanku, hanya air mata yang mengalir tanpa kusadari, dan kemudian semuanya menjadi gelap. Begitu sadar, aku menemukan diriku sudah di rumah sakit. Aku menolak untuk dirawat dan langsung berlari mencari telepon. Nomor pertama yang muncul dibenakku adalah nomor ponsel Arie. Aku merasa lega saat kudengar suara Arie setelah nada sambung ketiga. Dengan panik aku memintanya untuk segera ke Rumah Sakit Vincentius A Paulo atau lebih dikenal dengan nama Erkazet. Seperti biasanya, Arie masih berkepala dingin walau dalam keadaan genting sekalipun. Mataku terasa panas lagi, dan air mataku meleleh tanpa bisa dihentikan. Padahal aku sudah menangis lebih dari dua jam tadi, tapi rasanya air mataku tak akan pernah habis. Aku mendongak saat kudengar pintu kamar rawatku dibuka perlahan. Dan di sanalah Arie berdiri, tenang dan sama sedihnya denganku. Arie dan Lara adalah teman dekat selama kami SMA, mereka sangat akrab dan sudah seperti saudara kandung. Ia mendekat dan memelukku lagi, tapi kali ini tidak lama. Erat tapi sebentar. Lalu dia tersenyum sendu. “Tara, please, sudah jangan nangis lagi. Aku yakin Lara pasti nggak akan suka melihatmu begini,” ucapnya dengan suara lembut sambil menghapus air mataku dengan jemarinya. Aku menatapnya dalam, sarat kepedihan. “Lara mati, Rie. Kamu nggak sedih? Dia kan sahabatmu! Kenapa kamu bahkan nggak menangis sedikitpun?!” bentakku keras, dan aku langsung menyesal begitu melihat wajahnya yang terluka. Aku tahu dia pasti sedih sama seperti diriku. “Aku sedih, Tara. Sangat malah! Lara sudah seperti adikku sendiri!” jawabnya hampir membentak. “Aku ngerti kamu sedih, Tara, tapi Lara nggak akan bangun lagi hanya karena kamu menangis.” Arie melembutkan suaranya. “Tegarlah! Segalanya nggak akan jadi lebih baik dengan menyalahkan diri sendiri, aku sudah bilang kan, kalau ini semua adalah kehendak Yang Di Atas, jadi ini bukan kesalahan Tara. Relakan Lara pergi. Believe that she’s gone for good. Don’t send her go with tears, but do it with your prayer. Ada Dia bersamanya, Lara pasti bahagia. No need to worry,” kata Arie yakin dengan ketegaran luar biasa. Aku hanya bisa mengangguk dan dia kembali mendekapku erat. Esoknya saat pemakaman Lara, Arie dengan setia mendampingiku, meremas tanganku seakan ingin menyalurkan kekuatannya padaku. Aku pun berusaha untuk tidak menangis karena aku tak ingin mengantarnya pergi dengan tangis tapi dengan doaku. Semua yang dikatakan Arie benar. Segalanya yang terjadi di dunia adalah kehendakNya, dan kita manusia tak mungkin bisa mencegahnya, hanya bisa menerima dan mengikhlaskan segalanya. Tuhan tahu yang terbaik bagi anak-anakNya, karena itu aku yakin Dia pasti tahu apa yang terbaik untuk Lara. Setelah semua orang pergi hingga tinggal aku dan Arie, aku minta orang tuaku untuk pergi lebih dulu. Mereka tak menyalahkanku sedikitpun, mereka tahu yang salah bukanlah aku tapi supir-supir taksi seenaknya itu, kami berdiri dekat dengan nisan Lara. Arie melingkarkan tangannya di bahuku untuk menguatkanku. Aku menyentuh nisan Lara lembut. “Bye, Lara. Aku sangat bersyukur memiliki saudara sepertimu. Semua yang telah kita lewati bersama, tak akan pernah kulupakan. Kamu tahu, kamu adalah hal terbaik yang pernah Tuhan berikan padaku, seperti halnya Tuhan dan kamu memberikan Arie untukku. Makasih ya, sudah jadi saudara, teman, dan sahabat terbaikku. Makasih karena ngenalin aku dan Arie. Thanks my sister, thanks for everything.” Sebenarnya masih ada banyak hal yang ingin dan bisa kukatakan, tapi lidahku rasanya kelu. Di sampingku, Arie menatap nisan Lara masih sambil merangkulku. “Lar, thanks udah mau jadi sahabat dan adikku selama tiga tahun ini. Dan thanks karena sudah ngenalin aku ke Tara. Aku janji akan selalu buat dia tersenyum, akan selalu menjaganya apapun yang terjadi. Just…thanks for everything,” ucapnya lirih. Lalu kami berdoa untuk Lara. Setelah berdoa kami berdua berjalan kembali ke tempat mobil Arie diparkir. Aku berjalan di depan dan Arie di belakangku. Angin berdesir lembut membuatku sedikit merinding, lalu aku mendengar suara lembut ceria yang sangat kukenal. “Be happy Tara, now and always…send my regards to Arie too, ” angina berdesir lagi lembut dan aku berbalik. Ada sosok yang kukenal berdiri di sisi nisan Lara, ia tersenyum. “Bye. See you.” Aku pun tersenyum lalu berbalik melanjutkan langkahku disisi Arie.

0 komentar:

Posting Komentar